Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi saat ditemui awak media terkait buruknya penyerapan hasil panen petani di Nganjuk. (Poto: istimewa).
NGANJUK ifakta.co – Datangnya musim panen petani padi di Nganjuk dengan hasil yang melimpah tak lantas membuahkan hasil yang menggembirakan, pasalnya para petani merasa kesulitan menjual gabahnya karena Bulog Cabang Kediri menolak membeli hasil panen mereka sesuai standar Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebijakan Bulog Cabang Kediri dalam menyerap hasil panen petani di Kabupaten Nganjuk yang seharusnya sesuai (HPP) Rp 6.500 per kilogram kini dipertanyakan.Petani padi di Nganjuk keluhkan sikap Bulog tersebut.
Ketidakmampuan Bulog menyerap gabah sesuai HPP ini memicu aksi tegas dari Bupati Nganjuk, Marhaen Djumadi. Hingga ia berencana mendatangi kantor Bulog bersama seluruh kepala desa se-Kabupaten Nganjuk pada Senin (24/3/2025).
Marhaen mengaku geram lantaran begitu banyak laporan dari para petani yang merasa kesulitan untuk menjual gabahnya sesuai harga yang layak.
“Banyak petani yang mengeluh tak bisa menjual gabahnya karena penawarannya begitu rendah tak sesuai standar harga,” ungkapnya pada Minggu (23/03/25).
padahal sebelumnya petani yang se sudah terbebani dengan naiknya harga pupuk dan biaya produksi yang tinggi.
Marhaen berencana secepatnya akan mendatangi Bulog Cabang Kediri bersama seluruh kepala desa se-Kabupaten Nganjuk untuk menuntut kejelasan mengenai masalah penyerapan gabah. “Kami tidak bisa tinggal diam, Bulog seharusnya menjadi solusi bagi petani, bukan justru mempersulit. Kalau perlu, kami akan mendesak Bulog pusat untuk turun tangan langsung,” tandas Marhaen. Dengan campur tangan pemerintah daerah, diharapkan ada solusi konkret agar Bulog bisa menyerap gabah petani secara optimal sesuai dengan HPP. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi aksi protes besar-besaran dari para petani yang semakin terhimpit keadaan. Menurut Aji Dwi, Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Desa Kampungbaru, Kecamatan Tanjunganom, tanda-tanda permasalahan sudah tampak sejak awal musim panen. Salah satu kendala utama adalah kebijakan Bulog yang membatasi kuota harian dalam pembelelian gabah. “Panen di Kecamatan Tanjunganom tidak serentak. Desa seperti Kampungbaru panennya belakangan, sementara yang lain seperti Jogomerto dan Sumberkepuh sudah panen lebih dulu. Akibatnya, saat giliran kami panen, kuota Bulog sudah habis, dan kami tidak bisa mendaftar,” ujar Aji. Menurut Aji bukan hanya kuota yang menjadi masalah, sistem pendaftaran yang berbelit juga menyulitkan petani. Sejumlah petani mengeluhkan harus mendaftar melalui aplikasi yang sering mengalami gangguan, sehingga mereka kehilangan kesempatan menjual gabah mereka ke Bulog. Imbas dari sulitnya penyerapan gabah di Bulog ini sangat berdampak besar pada harga gabah dan beras di lapangan. Banyak petani terpaksa banting setir dengan menjual hasil panen mereka kepada tengkulak dengan harga jauh di bawah HPP, yakni sekitar Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per kilogram. Seperti penuturan salah satu warga di Kecamatan Berbek yang enggan disebut namanya, ia mengeluhkan kerugian yang besar di panen kali ini karena hasil panennya ditolak Bulog dengan dalih kuotanya penuh. “Saya sudah mendatangi Bulog untuk menawarkan hasil panen saya namun apa yang terjadi, mereka menjawab jika kuotanya sudah penuh, akhirnya saya terpaksa menjual gabah saya pada tengkulak dengan harga sangat rendah sehingga kami mengalami kerugian karena sebelumnya harga pupuk naik dan biaya produksi tinggi, apalagi saat ini menjelang hari Raya Idul Fitri kebutuhan untuk keluarga sangat banyak jadi kami sangat kebingungan,” papanya. Potret Nganjuk saat ini tentunya sangat ironis disaat Nganjuk dikenal menjadi lumbung padi karena hasil panen petaninya yang melimpah namun mereka kesulitan untuk menjual hasil panen tersebut karena Bulog tak mampu menyerap hasil panen mereka, hal ini tentu menjadi masalah besar yang harus segera teratasi agar masyarakat Nganjuk yang sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani dapat hidup dengan layak. (MAY).